BANYUMAS, potretlutim.com — Pemerintah Kabupaten Luwu Timur terus menunjukkan komitmennya dalam mengatasi persoalan sampah. Sabtu (12/7/2025), Bupati Luwu Timur, Irwan Bachri Syam, memimpin langsung kunjungan kerja ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Banyumas untuk mempelajari sistem pengelolaan sampah terpadu, termasuk penerapan teknologi Refuse Derived Fuel (RDF) dan konsep Reduce-Reuse-Recycle (TPS3R).
Rombongan Bupati diterima oleh Asisten Ekonomi dan Pembangunan Kabupaten Banyumas, Junaidi, Kepala DLH Banyumas, Sugiri, serta Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) TPS3R Kedungrandu, Wahidin.
Turut mendampingi Bupati, Ketua TP PKK Luwu Timur dr. Ani Nurbani, Kepala DLH Luwu Timur Muhammad Yusri, Kabag Prokopim, Agus Thobarani, Direktur External Relations PT Vale Indonesia Tbk Endra Kusuma, serta empat perwakilan dari kecamatan wilayah pemberdayaan PT Vale, yakni Nuha, Towuti, Wasuponda, dan Malili.
Dalam kesempatan itu, rombongan meninjau langsung Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Kedungrandu yang telah menjadi salah satu model pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular paling sukses di Banyumas.
Bupati Irwan dalam sambutannya menyampaikan bahwa sebagian besar daerah di Indonesia saat ini tengah menghadapi fase darurat sampah, termasuk Luwu Timur.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbulan sampah Luwu Timur pada 2024 mencapai 45.045 ton, namun baru 47 persen yang tertangani secara optimal.
“Dua dari empat TPA kami—yakni TPA Asana dan TPA Asuli—sudah ditutup karena masih menggunakan sistem open dumping yang kini dilarang oleh pemerintah pusat. TPA aktif kami saat ini hanya tinggal Inalahi dan Ussu,” kata Irwan.
Irwan menyebut Banyumas sebagai lokasi studi tiru yang sangat relevan karena telah berhasil membangun sistem RDF dan TPS3R yang terintegrasi dan berkelanjutan.
Apalagi, PT Vale Indonesia Tbk saat ini tengah membangun fasilitas RDF di Luwu Timur dengan kapasitas 50 ton per hari, namun hingga kini daerah tersebut belum memiliki fasilitas TPS3R.
“Melalui kunjungan ini, kami ingin melihat langsung bagaimana sistem ini berjalan. Harapannya, sistem RDF dan TPS3R bisa kami adopsi untuk menyelesaikan persoalan sampah di Luwu Timur paling lambat pada tahun 2029,” tegasnya.
Inspirasi dari Banyumas: Dari Krisis Menuju Inovasi
Asisten Ekonomi dan Pembangunan Banyumas, Junaidi, menjelaskan bahwa Kabupaten Banyumas sempat mengalami masa darurat sampah pada tahun 2018, pasca-penutupan TPA utamanya. Selama enam bulan, pengelolaan sampah dilakukan secara darurat dengan metode “gali lubang, tutup lubang” di atas lahan milik pemerintah.
“Dari pengalaman pahit itulah, kami terdorong untuk menciptakan inovasi sistemik. Salah satunya adalah program Sumpah Beruang atau Sulap Sampah Berubah Uang, yang mendorong masyarakat memilah sampah sejak dari rumah tangga,” terang Junaidi.
Program ini didukung sistem layanan berlangganan oleh pihak ketiga (ASM), yang kemudian mengangkut dan mengelola sampah warga. ASM bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat melalui kesepakatan iuran antara Rp30.000 hingga Rp50.000 per rumah tangga per bulan.
“Dari hulu ke hilir, kami berupaya membuktikan bahwa sampah bisa dikelola dengan baik. Kami sadar belum sempurna. Masih ada tantangan, misalnya untuk memenuhi standar ukuran bahan RDF yang harus dikecilkan agar bisa dipasarkan ke pabrik semen seperti PT SGI. Tapi kami terus berinovasi,” lanjutnya.
TPST Kedungrandu: Bukti Nyata Sistem ‘Zero Waste’
Ketua KSM Wahidin menjelaskan bahwa TPST Kedungrandu melayani sekitar 4.000 rumah tangga dan mampu mengelola hingga 200 ton sampah per hari. Sampah yang masuk diproses melalui mesin gibrik untuk dipilah otomatis.
“Organik kami jadikan kompos atau pakan maggot, sedangkan anorganik kami ubah menjadi RDF, paving block, genteng, bahkan bahan bangunan. Sistem ini memungkinkan terciptanya pengelolaan ‘zero waste to landfill’, karena tidak ada lagi sampah yang dikirim ke TPA,” jelas Wahidin.
Selain manfaat lingkungan, sistem ini juga memberikan dampak ekonomi yang signifikan. TPST Kedungrandu menghasilkan hingga 30 ton rongsok per bulan, yang jika dijual bisa menghasilkan pendapatan hingga Rp.30 juta.
“Sampah bukan sekadar masalah, tapi juga peluang ekonomi. Kuncinya ada pada kemauan kolektif untuk mengubah pola pikir dan membangun sistem yang terencana,” tambahnya.
Bupati Irwan: Kami Tidak Pulang Bawa Foto, Tapi Bawa Sistem
Bupati Irwan mengapresiasi sepenuhnya model yang dikembangkan di Banyumas dan menyatakan keinginannya agar pendekatan serupa bisa diterapkan di Luwu Timur.
“Yang luar biasa di sini bukan cuma teknologinya, tapi keterlibatan masyarakatnya. Sistem ini berjalan karena ada gotong royong, ada model bisnis, dan ada orientasi keberlanjutan,” ujarnya.
“Ini bukan sekadar kunjungan seremonial. Kami tidak ingin pulang hanya membawa dokumentasi. Kami ingin membawa pulang sistem yang bisa langsung kami kerjakan bersama PT Vale dan pemerintah daerah. Banyumas adalah contoh nyata bahwa krisis bisa melahirkan inovasi,” tutup Irwan. (Cl/Red.)